.
- Back to Home »
- Cerpen
Posted by : Megumi Aishikawa
Friday, April 25, 2014
The Flowers of Spring
Cinta memang tak seindah cerita
Dan cerita tak selalu sempurna
Terkadang cerita memiliki akhir yang
tak terduga
Akhir yang tak diinginkan, pun aku
enggan mengilusikannya
Tapi satu hal… Cinta selalu punya
cerita dengan warna yang berbeda
“Welcome to Korea!” teriakku sekeras
mungkin, membangunkan pohon-pohon Ginkgo nan mengitariku yang sedari tadi hanya
diam membisu.
Menatap tepat pada satu titik… cherry
blossom. Tak dapat kulontarkan sepatah kata pun. Sakuranya Korea ini memang
mampu memikat daya tarik tersendiri bagi para traveler internasional dan
domestik di Seoul. Begitu pula denganku.
Tak lebih dari satu jam yang lalu,
pesawat yang mengiringiku menjelajahi langit biru dan menembus setiap gumpalan
awan nan putih itu telah mendaratkan aku di satu kota bernama…
“Seoul,” ucapku seraya tersenyum
simpul menyambut kota metropolitan itu.
“Dan aku di sini… Nami Island.”
Sebuah pulau di sebelah utara kota
Seoul, tepatnya di daerah Chuncheon, Gangwon-do. Pulau yang juga dikenal dengan
Naminara Republic ini memang mampu memanjakan para wisatawan dengan pemandangan
landscape nan indah dan ditemani hamparan pohon Ginkgo yang lebat serta
menjulang tinggi.
Tak diragukan lagi. Menjelajahi Nami
Island akan terasa lebih hidup ketika musim semi menguasai detak si pemintal
waktu. Hamparan cherry blossom yang bermekaran dengan indahnya itu seakan
berbisik. Mengukir seuntai kata nan semu yang mampu menjadi obat tersendiri
bagi para penanti, seperti diriku saat ini.
Aku ingat ketika Choi Ji-woo dan Bae Yong Joon, dua pemeran utama
Winter Sonata itu saling memadu kasih di pulau ini. Hutan-hutan tempat mereka melangkahkan kaki bersama-sama, diiringi pemandangan yang sungguh romantis.
Andai dia di sini. Aku dan dia akan menjadi dua pemeran yang akan menjalani
satu kisah… kisah kita bersama.
“Naega dangsin-eul geuliwo….”
***
Embun pagi tak lagi mengukir langit
biru. Namun, aku enggan untuk beranjak pergi. Berpayung semburat senja yang
kini tak lagi jingga untukku. Entah berapa lama lagi aku akan menunggunya di
sini.
Kerumunan orang yang sedari tadi
tumpah ruah di kota Jinhae ini lambat laun mulai terkikis oleh langit yang
beranjak redup. Jinhae Gunhangje Festival itu memang telah usai sejak sebercak
senja meukirkan jingganya.
Apa dia lupa akan janji kita? Janji
merajut kenangan bersama Jinhae Gunhangje Festival itu. Festival yang telah
usai bahkan. Lalu, kapan ini akan usai?
“Hana….” Kudengar suara itu
memanggilku. Suara yang tak asing menyapu gendang telingaku.
“Oppa....”
sapaku lembut. Meski kesal, aku tetap tak dapat menyembunyikan bisikan hatiku
yang bersemi ketika Karl muncul di hadapanku.
“Hana, mianhae... membuatmu menunggu seperti ini… mianhae,” ucapnya seraya menggenggam erat tanganku yang mulai
membeku bersama malam yang semakin merajut dinginnya.
“Gwaenchana,”
ucapku seraya tersenyum simpul.
Aku terperangah. Seketika, Karl
menarikku ke dalam pelukannya. Untuk sesaat aku tidak melakukan apa-apa. Lebih
tepatnya tidak terbayangkan apa yang harus kulakukan saat itu. Hanya membatu. Hanya
menghambur ke dalam pelukan itu yang dapat kulakukan.
Berpayungkan lantunan putri rembulan
yang menepis gelapnya malam. Dan berlatarkan pemandangan bunga Sakura yang
berguguran dan memenuhi beberapa sudut kota, melampaui indahnya hujan musim
salju. Bersamanya kudengar sayup-sayup suara Karl mengukir seuntai kata…
“Na…
saranghae.”
Aku merasakannya,
pelukan itu mulai merenggang. Hingga akhirnya aku dapat menatap wajah tampannya
yang tersapu oleh belaian angin malam itu
“Kau tahu? Ketika
bunga-bunga bersemi, bagiku bunga yang terindah adalah… Hana. Di antara bunga
Cherry Blossom, Forsythias, Azaleas, dan bunga-bunga liar lainnya, hanya Hana
yang mampu memekarkan musim semi di dalam untaian hidupku. Saranghae….” Ucapnya seraya memberikan beberapa bunga Cherry
Blossom yang mekar sempurna ke dalam genggaman tanganku.
“Simpanlah dan ingatlah
ini sebagai kenangan musim semi pertama yang kita rajut bersama di sini…
Jinhae.”
***
“Eonni….”
Kudengar sayup-sayup
suara itu. Memecah lamunanku dalam ruang kosong yang sedari tadi membiarkan
begitu saja kenanganku bersama Karl memenuhi ruang pikiran dan berkecamuk di
sana.
“Eonni… dangsineun gwaenchanha?” tanya Eun Bi , memaksaku untuk
menjawab.
Aku hanya mendekikan bahu, membuat yeodongshaeng ini mulai menampakkan kekhawatirannya.
Aku hanya mendekikan bahu, membuat yeodongshaeng ini mulai menampakkan kekhawatirannya.
“Na… cal cineyo,”
jawabku singkat.
“Eonni… apa kau masih menunggunya?” tanyanya lagi seraya
menggerakkan jemarinya.
Eun Bi menunjuk sebuah
kotak putih transparan yang telah usang. Di dalamnya tersimpan beberapa bunga
Sakura yang tak lagi mekar sempurna, tak lagi seindah dulu karena semua
warnanya telah beranjak memudar dan melayu, terkikis oleh jejak si pemintal
waktu.
“Bukankah bunga itu
sudah lama mati? Kenapa Eonni masih menyimpannya? Di luar sana bahkan masih
banyak bunga-bunga lain yang bersemi dengan indahnya.”
“Ini bukan hanya
seuntai bunga, Bi. Bunga ini menanti tuannya untuk bersemi kembali.”
Ini adalah musim semi
ketiga bagiku setelah Karl menghilang tanpa jejak malam itu. Aku tidak pernah
membayangkan bahwa Jinhe akan menjadi kota terakhir sekaligus saksi perjumpaan
terakhir kami. Lalu untuk apa dia memintaku merajut kisah ini? Kenapa Oppa mengatakan dia mencintaiku kalau
pada akhirnya dia pergi? Entahlah, aku tidak pernah tahu. Apa Oppa akan kembali
lagi ketika bunga ini mulai bersemi kembali? Andwaeyo….
***
Tak lebih dari satu jam
setelah Cheongpunghoban Cherry Blossom Festival dibuka, para pengunjung telah
berkumpul memenuhi ruas-ruas jalan di sekitar Danau Cheongpungho. Bagaimana
tidak, saat aneka bunga bermekaran, maka air di danau ini akan merefleksikan
keindahannya. Jernihnya air danau akan menjadi nilai tersendiri suasana eksotis
dan menjadi buruan bagi para penghobi fotografi yang datang ke sini.
“Sile hamnida… sile hamnida… sile hamnida,” ucapku seraya menerobos
kebisingan itu.
Buk….
“Oh… mianhamnida,”
ucapku seraya menundukkan kepala.
Entah siapa yang aku
tabrak tadi. Setidaknya aku dapat memastikan dia akan baik-baik saja karena
hanya aku yang terjatuh saat itu. Tanpa pikir panjang, aku bergegas pergi
meninggalkannya. Tak mau ketinggalan untuk dapat mendokumentasikan momen-momen
yang akan mengalirkan keindahan bunga-bunga berserta jernihnya air danau itu.
“Hei, tunggu dulu!
Hei….”
***
Canola Flower Festival.
Festival terakhir yang akan aku jelajahi sebelum aku kembali ke Indonesia.
Event ini adalah event yang paling terkenal untuk ikut melukiskan kegembiraan
di musim semi Pulau Jeju yang dipenuhi dengan bunga-bunga Canola nan cantik.
Sebagai penghobi
fotografi, aku tak ingin mensia-siakan festival ini untuk mengabadikan sebanyak
mungkin momen indah yang dapat ditangkap oleh Canon EOS-1000-D mikikku.
Pemandangan Jeju yang memancarkan warna kekuningan dari bunga Canola yang
ditemani suka ria aktivitas para pengunjung adalah objek foto yang sayang untuk
sebatas dilirik begitu saja.
“Hei… kau menjatuhkan
ini saat kau terjatuh sewaktu kita bertabrakan. Kau ingat?” ucapnya seraya
menyerahkan sebuah kotak putih transparan yang nampak usang di genggamannya.
“A, ne. Kotak ini… gomaweo.”
“Kau masih
menyimpannya?”
“A, ne. Tunggu… Oppa?”
“Lama tak bertemu…
Hana. Mianhae… membuatmu harus
menunggu selama ini. Lagi dan lagi….”
And, here we are….
Melangkahkan kaki
bersama, menyusuri jalan-jalan di sudut-sudut yang dipenuhi dengan hamparan
bunga Canola yang mekar berseri dengan warna kekuningannya.
I miss this part few years ago….
Meski sudah kesekian
kalinya aku memijat daerah sekitar alis mata, memikirkan apa yang menjadi
alasan bagi Karl meninggalkan aku saat itu. Tetap tak ada jawaban.
Namun, satu hal yang
aku tahu. Sesuai dengan namanya ‘Karl’, aksen Prancis yang berarti ‘seorang
pria’. Bagiku Oppa adalah pria
sejati. Karena meskipun dia pergi dan menghilang tanpa jejak, dia tahu caranya
untuk kembali lagi nanti.
Seperti bunga Sakura
yang tak lagi mekar sempurna, bunga yang beranjak memudar dan terkikis oleh
bisikan waktu. Mereka tak pernah mati, karena mereka menanti tuannya untuk
bersemi kembali.
By : Febriyani F.
-------------------------------------------------------------------------------- Figura Maafku
Detak si pemintal waktu telah menandakan hari nan beranjak
pagi. Malam memang tak lagi menguasai hari. Tapi, mataku masih tetap mengatup. Enggan
berkompromi dengan jam sekolah yang memaksaku bangun di pagi buta.
“Eh, belum bangun juga kamu! Sudah
jam berapa ini? Ayo, cepat bangun!” bentak Mom seraya mencubit kakiku dengan
kukunya yang sudah memanjang.
“Aww…! Sakit tahu, Mom!” Terdengar
suaraku sedikit membentak.
“Makanya kalau Mom bangunin tuh
langsung bangun! Mau kamu kalau nanti telat? Biarin nanti dimarahin Dad,” ujarnya
seraya meninggalkanku.
“Ah… Nggak tahu apa kalau sakit? Apa
nggak ada cara lain buat membangunkanku?” gumamku seraya mengelus luka cubitan
Mom yang meninggalkan bekas seperti gigitan ular itu. Luka yang sedikit
menampakkan merah kelam darahku, pun mulai menjalarkan rasa sakitnya.
***
Mentari pagi telah berganti menjadi
sengatan si raja api. Memancarkan panasnya hingga ke ubun-ubun. Sungguh, siang
ini terasa begitu penat dan menyesakkan.
Tak lebih dari lima menit yang lalu, aku
baru saja melangkahkan kaki memasuki rumah. Dan….
“Nak, beliin Dad rujak, gih!”
“Ah… baru juga aku sampai rumah, Dad.
Di luar panasnya menyengat.”
“Tolongin bentar, Nak! Dad pingin makan
rujak di jalan raya itu.”
“Jalan raya, Dad? Di dekat sini kan
juga ada yang jual rujak.”
“Nggak mau, Nak. Dad maunya yang di
jalan raya itu. Cepat ya!”
Tak mau meladeni permintaan Dad, aku
meninggalkannya. Beranjak menelusuri tempat tidurku dan berbaring di sana.
“Argh… Apa Dad tak tahu kalau aku
begitu lelah? Kenapa mereka selalu menyuruhku ini dan itu?” gumamku.
Dad memang seperti itu. Entah berasal
dari mana, sifat Dad ini memang jarang ditemukan… langka. Dad tak pernah mau
mengambil ini dan itu sendiri. Dad selalu menyuruhku untuk ambilkan ini dan
ambilkan itu. Apa Dad tak bisa melalukannya sendiri? Benar-benar menyebalkan,
seperti sekarang ini….
“Yeh, disuruh beli rujak malah tidur
kamu. Apa susahnya bantuin bentar, sih? Dah, nggak usah dibeliin!” ucap Dad
seraya menyindirku.
“Makanya, Nak. Kalau disuruh itu langsung
jalan, jangan nanti-nanti! Kena marah juga, kan? Sudah sana pergi, belikan saja
rujaknya!” Mom menambahkan, tak memedulikan kantuk yang juga menyerangku.
Dengan terpaksa, aku pergi membeli
rujak pesanan Dad itu. Jarak dari rumah ke jalan raya memang cukup jauh.
Rumahku yang jauh memasuki gang kecil ini harus melalui gang besar terlebih
dahulu, barulah aku sampai di jalan raya itu. Kenapa Dad tak membeli saja
rujakdi dekat rumah itu? Huhh… benar-benar menyebalkan.
***
Waktunya makan malam telah tiba. Baru
aku mengulurkan sesendok nasi ke dalam perutku yang sudah meraung-raung itu,
dan lagi-lagi….
“Nak, ambilkan Dad minum, dong!” ucap
Dad kembali mengusik makan malamku.
“Apalagi, sih?!” jawabku dengan nada
sedikit meninggi.
Kesal mendengar suaraku yang sedikit
membentak itu, refleks… Dad melemparkan semua makan malamnya ke lantai.
“Sudah Mom, mulai sekarang nggak usah
minta tolong ke anak kita lagi! Pada ngebantah semuanya!” Dad benar-benar marah
kali ini.
Dad memang tak pernah memukulku atau
melakukan tindak kekerasan dalam bentuk apa pun, tak seperti Mom. Saat marah,
terkadang Mom mencubitku atau bahkan memukulku dengan sapu berkali-kali,
tergantung seberapa kesal Mom saat itu. Tapi, dibandingkan dengan pukulan dari
Mom, melihat Dad marah seperti ini… lebih menyeramkan.
“Keluar sana kalau memang sudah bisa
hidup sendiri! Dua anak ngelawan semuanya!” Amarah Dad semakin menjadi-jadi.
Begitu pula dengan isakan tangis yang
tak lagi dapat kubendung. Tanganku gemetar, membersihkan setiap nasi yang kini
berserakan di lantai.
“Mom, Dad… maafkan aku, aku tak
bermaksud membantah, mengecewakan, apalagi melukai kalian. Maaf…,” gumamku
dalam hati.
Ingin sekali aku mengatakannya kepada
Mom yang detik ini sedang menangis di hadapanku. Mengatakannya kepada Dad agar
amarahnya itu terhapus oleh hembusan angin dari kata maafku.
Namun, aku tetap tak bisa. Tak kuingat terakhir kali
untaian kata maaf dan terima kasih itu kulontarkan kepada Mom dan Dad. Kini,
hampir tak pernah lagi.
Sampai suatu hari…
aku memberanikan diri, menulis sepucuk surat untuk Mom dan Dad. Telah kuukir
permintaan maaf juga terima kasihku di sana. Dan….
“Sini, sayang…,”
Mom seketika menarikku ke dalam pelukannya. Peluk nan manja yang telah lama
hilang, terkikis oleh luka dan tangis yang selalu kutorehkan.
“Maafkan Dad juga,
ya… Waktu itu, Dad sudah marah-marah ke kamu,” Dad mengusap rambutku lembut
dengan tangannya. Tangan yang telah bekerja keras untuk menghidupkan aku,
kakak, Mom, Dad… dan kita semua, seikat keluarga.
Kini… kutemukan figura kenangan
pun Jatuh kian
kudapat
Pun derai air mata bergulir
Bunda hentikan
dengan balutan cinta
Gambar asa penuh
akan luka
Tapi tetap… hapus
segala dosa
By : Febriyani F.