.
- Back to Home »
- Sejarah
Posted by : Megumi Aishikawa
Sunday, April 27, 2014
Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949
Latar
belakang
Kurang
lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan
pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.
Belanda
terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan
kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda
tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah
terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar
awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan
untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III -
bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan
propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Melalui Radio
Rimba Raya,
Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima
Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah
yang harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.
Hutagalung
yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan
dengan Panglima Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap
ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit paru-paru.
Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan
keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.
Pemikiran
yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional
terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih
kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini,
maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak
bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan
wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk
menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik
Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional
Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan
Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima
Divisi II dan III.
Letkol.
dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar
Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil
di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing.
Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang
Sugeng, dan Letkol
Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu
Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A.
Sumitro Kolopaking
dan Bupati Sangidi.
Letkol
Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer
III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
- Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,
- Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
- Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
- Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
- Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
· Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki
oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
·
Unit
PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
Tujuan
utama dari ini rencana adalah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi
Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat
militer harus melihat perwira-perwira
yang berseragam TNI.
Setelah
dilakukan pembahasan yang mendalam, grand
design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan
spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara
spektakuler adalah Yogyakarta.
Tiga alasan
penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai
sasaran utama adalah:
- Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
- Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
- Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
Selain
itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III,
untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di
wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan
tentara Belanda.
Selain
itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai
Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu
diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama
selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama
untuk logistik dari seluruh rakyat.
Selanjutnya
dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk
skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi
dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI
dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada
waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada
anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel
tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian
Pertahanan yang juga berada di Gunung
Sumbing akan ditugaskan
mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan,
terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.
Hal
penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan
Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia
internasional maka dibantu oleh Kol. T.B.
Simatupang
yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara
RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai
penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam
kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih
kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan
Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka
akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat
pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi
III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II
Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II
dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi
militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat
diperlambat.
Pimpinan
pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan
pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para
pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari
bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan
Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok
perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur
dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
Untuk
pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun
konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan
Rakyat Total
- sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif
(Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama
tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter
dan rumah obat mesti menjadi perhatian.
Walaupun
dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman
obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian
banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas.
Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise
II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan
segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk
menyampaikan keputusan rapat di Gunung
Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel
Gatot Subroto.
Sebagaimana
telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah,
perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh
atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas
Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi
III Kolonel Bambang
Sugeng. Kurir segera
dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III
serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga
guna menyampaikan grand design
kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain
Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang
Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang
Sugeng), seorang mantri
kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota
staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.
Pertama-tama
rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari
markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan
tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang
sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol.
Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang
Sugeng, dalam pertemuan
tersebut hadir juga Mr. M. Ali
Budiarjo, yang kemudian
menjadi ipar Simatupang.
Simatupang
pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui
pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah
Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima
Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade
IX di bawah komando Letkol Achmad
Yani, diperintahkan
melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19
Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan
perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang
hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap
desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang
Sugeng beserta rombongan
mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang
Sugeng dan masih sempat
berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang
Sugeng, yang kini
tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu
gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan
di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima
orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan
antara tanggal 25
Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian,
setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah
semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24
atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke
semua pihak yang terkait.
Puncak
serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perkembangan kontroversi Serangan Umum 1 Maret
Sebenarnya latar belakang
serangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu yang diduduki Belanda,
tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari duapuluh tahun, apabila
beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta
sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat peristiwa serangan
tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang telah menulis
secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai
perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali
diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.
Cukup banyak pelaku sejarah
yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas, terutama
mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai
alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun beberapa kali
telah ada penulisan yang berbeda dengan dua versi tersebut dan bukti-bukti
cukup banyak.
Selain itu cuplikan dari
manuskrip buku Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, yang sehubungan
dengan serangan atas Yogyakarta tersebut, telah dimuat di majalah bulanan
Bonani Pinasa, Medan, edisi November dan Desember tahun 1992 (ketika Suharto
masih Presiden); Tabloid Tokoh, 6 - 16 November 1998; Mingguan Tajuk, 4 Maret
1999 dan Suara Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis oleh Sabam Siagian).
Setelah membaca manuskrip
tersebut, pada tahun 1995, Suharto menyampaikan, agar
buku tersebut tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun 1997, dimana
suasana reformasi sudah mulai dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan kepada
Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta pendapatnya untuk memberi
sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut diterbitkan,
dan menulis kata sambutan.
Usai perang gerilya, dua
orang perwira yang bergerilya di wilayah Gunung Sumbing, mendapat promosi
kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949, Kolonel Bambang Sugeng menjadi
Kepala Staf "G" (General = Umum) dan ketika Simatupang ditugaskan
untuk ikut menjadi anggota delegasi Republik dalam KMB di Den Haag, Bambang
Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Perwira kedua yang
mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung, yang
diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf "Q" TNI AD (Kepala Staf
"Q" – Head Quarter). Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan
dari Banaran, Simatupang mencatat: "dr Hutagalung, aktif berjuang melawan
Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948 ditunjuk sebagai wakil Angkatan
Bersenjata pada Komite Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara Republik
dari wilayah yang diduduki Belanda."
Salah satu keputusan Konperensi Meja Bundar adalah
penyerahan seluruh perlengkapan militer Belanda yang ada di Indonesia, kepada
TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pada perundingan dengan pihak Belanda untuk
serah terima perlengkapan militer tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh
Kwartiermeester-generaal Staf "Q" Letnan Kolonel Dr. W. Hutagalung.
Wakilnya adalah Kolonel G.P.H. Djatikusumo
[Diceriterakan oleh alm. Kol TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang dalam
pertemuan pada 9 November 1999 di Gedung Joang ’45, Menteng
Raya 31]. Dalam pelaksanaan serah terima, Hutagalung dibantu oleh Kapten
Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar, yang menangani penerimaan dan
registrasi perlengkapan militer, dan dr. Satrio, yang menangani penerimaan dan
registrasi perlengkapan medis.
Pada 29 Februari 2000,
bertempat di Gedung Joang '45, Jl. Menteng Raya No. 31, diselenggarakan diskusi
mengenai "Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949" dan jumpa pers
oleh Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) dan Exponen Pejuang Kemerdekaan RI &
Generasi Muda Penerus RI. Selain dihadiri oleh putra - putri alm. Panglima
Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng, juga hadir Dr. Anhar
Gonggong, yang mengakui bahwa dia baru pertama kali
melihat dokumen Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang
Sugeng, tertanggal 18 Februari 1949 tersebut (Diskusi dan Jumpa Pers tersebut
diliput dan diberitakan oleh beberapa media cetak, dan dua stasiun radio yang
memberitakan langsung dari Gedung Joang).
Tanggal 2 Maret 2001, Aliansi
Reformasi Indonesia (ARI) bekerjasama dengan Yayasan Pembela Tanah Air,
menyelenggarakan Diskusi Panel dengan mengundang wakil dari masing-masing
versi. Untuk wakil versi pertama, yaitu Suharto pemrakarsa serangan 1 Maret
1949, semula panitia mengundang Paguyuban Wehrkreis III dan Yayasan Serangan
Umum 1 Maret 1949 untuk mengirim seorang pembicara, yang akan mewakili versi
pertama. Namun Paguyuban Wehrkreis III menjawab, bersedia mengirim pembicara
dalam Diskusi Panel, namun baik Paguyuban Wehrkreis III maupun Yayasan Serangan
Umum 1 Maret, menyatakan tidak mewakili versi manapun. Sebagai panelis mewakili
Paguyuban Wehrkreis III adalah Brigjen TNI (Purn.) KRMT Soemyarsono, SH (Beliau
juga hadir dalam acara Ulang Tahun ke 91 dari dr. Wiliater Hutagalung pada 20
Maret 2001, yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang juga dihadiri
teman-teman sdeperjuangan dr. W. Hutagalung dari Jawa Timur –seperti Komjen POL
(Purn.) Dr. M. Jasin, alm. Mayjen (Purn.) EWP Tambunan, alm Mayjen (Purn.) KRMH
H Jono Hatmodjo- dan Jawa Tengah).
Panitia juga mengundang
Julius Pourwanto, wartawan harian Kompas, yang pernah menulis sesuai dengan
versi pertama, yaitu Suharto adalah pemrakarsa serangan tersebut untuk menjadi
nara sumber. Semula Pourwanto telah menyatakan kesediaannya, namun satu hari
sebelum penyelenggaraan Pourwanto mengirim fax, yang menyatakan bahwa dia
mendapat tugas lain dari harian Kompas.
Untuk versi kedua, semula
ditanyakan kesediaan Atmakusumah Astraatmaja, penyunting biografi Hamengku
Buwono IX, di mana dituliskan, bahwa HB IX pemrakarsa serangan tersebut. Namun
Atmakusumah menyampaikan, berhalangan untuk hadir sebagai pembicara, karena
sudah ada komitmen di tempat lain. Kemudian panitia menghubungi Penerbit Media
Pressindo di Yogyakarta, yang menerbitkan buku "Kontroversi serangan Umum
1 Maret 1949", yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI) di
mana disebutkan, bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan itu. Karena tidak mengetahui
alamat TLAI, panitia memohon kepada penerbit, untuk meneruskan undangan kepada
TLAI, namun sama sekali tidak ada jawaban, baik dari TLAI, maupun dari
penerbit.
Melalui telepon, penulis
menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta. Marsudi, yang sejak
jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua, yaitu HB IX pemrakarsa
serangan. Namun Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal 1 Maret 2001, di Yogyakarta
akan diluncurkan buku baru untuk meluruskan penulisan sejarah. Buku tersebut
menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan umum 1 Maret 1949. Menurut
Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu sudah final, dan tidak bersedia
mendiskusikan hal tersebut. Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi
terbuka, di mana hadir wakil-wakil dari tiga versi yang berbeda.
Sumber:
By : Willy Gusmawan